Komisi II DPR Minta Surat Edaran KPU Dicabut
Mayoritas anggota Komisi II DPR mendesak agar Surat Edaran Komisi Pemilihan Umum (KPU) nomor 302/VI/KPU/2015 tentang pilkada serentak pada Desember mendatang, diharapkan untuk segera dicabut. Surat edaran KPU itu dinilai membuka “kran” dinasti politik.
Demikian mengemuka dalam rapat Komisi II DPR dengan KPU di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (24/6) yang dipimpin Ketua Komisi II DPR Rambe Kamarulzaman.
Tak hanya surat edaran, bahkan ada juga anggota Komisi II DPR yang meminta Peraturan KPU nomor 9 tahun 2015 direvisi. PKPU ini lah yang menjadi pangkal muasal terbitnya SE nomor 302/VI/KPU/2015. Sebelumnya, KPU menjelaskan bahwa surat edaran tersebut muncul sebagai penjelasan peraturan KPU (PKPU) No 9 tentang pencalonan.
"Kita mau tinjau ulang surat edaran dan seiring itu kita lakukan revisi PKPU No 9 tentang pencalonan," kata Rambe Kamarulzaman.
Namun, Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Arteria Dahlan langsung meminta surat edaran tersebut dicabut tanpa revisi PKPU No 9 tahun 2015. “Solusinya tegas, langsung cabut surat edaran. Ketua KPU jangan berpolemik," kata Arteria.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Hanura, Rufinus Hotmaulana Hutauruk juga mengatakan hal yang sama. Menurut dia, hanya ada satu solusi dari permasalahan petahana saat ini yaitu surat edaran KPU harus dicabut.
Sementara Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Azikin Solthan surat edaran KPU tidak diperlukan lantaran sedang dibahas di MK. "Jangan mendahului MK," ujarnya.
Ia menilai bahwa KPU telah diintervensi oleh pihak-pihak yang menginginkan untuk pilkada serentak ini dimundurkan waktu pelaksanaannya. "Apa urgensinya audit BPK digembar-gemborkan? Itu kan hal berbeda. Apalagi kami di Komisi II punya pertanyaan juga ke BPK, kenapa cuma KPU yang diaudit dan dihebohkan seperti ini?" katanya.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi II Ahmad Riza Patria mengatakan apabila surat edaran dicabut, masih ada PKPU yang mendefinisikan petahana sebagai pejabat eksisting yang sedang menjabat. Oleh karena itu, PKPU sebagai sumbernya harus direvisi pula.
"Surat edaran tidak cukup kuat rujukannya. Saya usulkan selain revisi surat edaran tapi juga revisi PKPU, kalau mungkin revisi UU. Yang paling mungkin revisi surat edaran dan PKPU. Kapan? Apa sekarang atau tunggu putusan MK?" ungkap Riza.
Sementara itu Ketua KPU Husni Kamil Manik mengatakan surat edaran tersebut dibuat berdasarkan peraturan KPU khusus untuk pemilihan kepala daerah 2015.
Pihaknya enggan disalahkan perihal tersebut. Menurutnya, surat edaran tersebut dikeluarkan karena ada daerah yang ingin mengetahui penjelasan apa yang dimaksud dengan petahana.
"Jika nyatanya salah, mengapa saat PKPU ditetapkan tak ada kritik. KPU hanya menjelaskan apa yang ingin kita jelaskan. Ini bukan norma baru yang kami buat," ujar Husni.
Saat itu, setelah berkonsultasi dengan DPR, akhirnya KPU diminta membuat pengertian sesuai dengan yang ada di UU. Pengertian petahana yang dirujuk dalam UU adalah mereka yang sedang menjabat "Jadi jika ada masa kepengurusannya jatuh satu hari sebelum pencalonan, bukan petahana lagi," ujarnya.
Oleh sebab itu, menurut Husni seandainya surat edaran tersebut mau dicabut maka pengertiannya harus diubah. "Kalau mau dicabut berarti peraturan mengenai pengertian petahana harus dilakukan pendefinisian ulang," kata Husni. (nt), foto : riska arinindya/parle/hr.